PEMBELAAN IBNU RUSYD TERHADAP KRITIK AL-GHAZALI KEPADA PARA FILOSOF

Oleh Aima Ch.

images9

A.    Tentang Ibn Rusyd

Ibn Rusyd dikenal sebagai pembela filsuf dan filsafat Aristoteles dari kesalahan pemahaman al-Farabi dan ibn-Sina, serta dari serangan kritis al-Ghazali. Dan juga menggunakan logika sebagai metode berpikir logis dan benar dalam memproduksi pemikiran. Selain itu dia juga menggunakan logika sebagai metode kritik, baik kritik nalar filsafat maupun kritik nalar syari’at[1].

Al-Ghazali mengatakan bahwa bahaya filsafat terletak pada filsafat ketuhanan (metafisika) yang ingin menentang supermasi agama secara langsung dan ingin melepaskan pengaruh agama. Sehingga filsafatlah yang tertinggi sedangkan teks agama dianggap rendah. Dia tidak menyibukkan diri, pikiran dan penanya untuk membantah pendapat-pendapat golongan materialisme dan naturalisme dari kalangan filosof yang mengingkari masalah ketuhanan atau akhirat, karena masalah mereka sudah jelas. Setiap Muslim tidak mungkin menerima pemikiran mereka, karena menentang pokok ajaran Islam secara jelas.

Ketika menyerang filsafat dia memberikan beberapa kriteria, yaitu:

  1. Bagian yang harus dikafirkan,
  2. Bagian filsafat yang dianggap bid’ah, dan
  3. Bagian yang tidak harus diingkari sama sekali

Al-Ghazali tidak ingin menghancurkan filsafat untuk membangun suatu teori atau aliran khusus filsafat. Sebaliknya ia ingin menghancurkan filsafat guna menegakkan, mendukung atau menghidupkan ilmu-ilmu agama. Melalui logika dan filsafat itu sendiri, akal sebagai satu-satunya pijakan tanpa petunjuk wahyu hanya akan membawa manusia pada kebingungan dalam pertentangan yang tiada hentinya.

Tidak adil rasanya kalau menuduh al-Ghazali – akibat serangannya terhadap filsafat – bahwa ia telah menentang dan mengingkari peranan akal. Hal ini sering menjadi kesimpulan para peneliti tentang al-Ghazali yang tergesa-gesa menarik konklusi. Lalu mereka menyatakan bahwa dengan kitab “Tahafut          al-Falasifah” al-Ghazali telah menghancurkan kekuatan akal. Sebenarnya al-Ghazali menjunjung tinggi akal kritis yang bebas, mengalahkan akal yang dipenuhi taklid yang senantiasa menerima pendapat para tokoh tanpa menguji kebenarannya terlebih dahulu. Meninggalkan akal yang bebas dalam pandangannya berarti juga meninggikan keimanan. Menurutnya dalam Islam tidak ada pertentangan antara akal dan wahyu.

Uraian al-Ghazali tentang hubungan sebab akibat (causality) dirasakan oleh banyak pihak sangat controversial, terutama dalam kaitannya dengan pembentukan etos ilmu – bukan dalam kaitannya dengan hakikat kausalitas secara metafisik. Hukum kausalitas oleh al-Ghazali diserahkan kepada kekuasaan mutlak Tuhan. Manusia tidak boleh mengatakan bahwa “banyak anak akan berakibat pada kelanjutan pendidikan anak, ekonomi dan kesejahteraan keluarga, dan sebagainya”, karena hal itu jika diyakini, dianggap akan menegaskan kekuasaan Tuhan dalam memberikan rezeki. Sedang Tuhan dalam memberi rezeki tidak terikat dengan perhitungan logis-ekonomis manusia.

Menurut penulis, argumen ini erat kaitannya dengan keinginan    al-Ghazali untuk mempertahankan konsepsi “mu’jizat” secara tradisional dan “kekuasaan absolut Tuhan”. Tuhan dapat dengan mudah merubah tongkat menjadi ular tanpa harus tunduk pada aturan logika dan aturan hukum sebab akibat. Sayangnya dia tidak memberikan penjelasan logis tentang argumen tersebut.

Kaum modernis akan mengatakan bahwa al-Ghazali masih bersiteguh dalam dunia metafisika-spekulatif, sedang orang lain sudah turun ke bumi mencari rumus-rumus hukum sebab-akibat tersebut, tanpa mengurangi arti metafisika.

Secara kongkrit dapat digambarkan seperti berikut: “Ketika dalam kehidupan sehari-hari kita melihat buah kelapa selalu jatuh ke bawah, al-Ghazali akan bilang bahwa hal itu adalah “Sunnatullah” dan berhenti sampai disitu saja. Pertanyaan teologis-metafisis seperti itu sepenuhnya benar, tapi karena hanya terhenti sampai disitu saja maka pernyataan tadi terasa kontroversial bila dihadapkan kepada aturan logika dan kausalitas. Kalau saja al-Ghazali memotivisir orang untuk merumuskan jawaban tentang peristiwa tersebut, dengan disertai uji coba yang tak kenal lelah, maka etos ilmu pengetahuan akan tumbuh subur dengan sendirinya.

Kita dengan mudah mengambil pokok-pokok pemikiran filosofis  al-Ghazali menyanggah teori metafisika Ibnu Sina. Hal itu tercantum dalam 20 persoalan yang dikritiknya dalam bukunya “Tahafut al-Falasifah” Tiga butir persoalan yang menjadi sasaran kritik tajamnya (memvonis kafir) adalah:

  1. Bahwa Allah hanya mengetahui hal-hal yang besar dan tidak mengetahui hal-hal yang kecil.
  2. Bahwa alam semesta ini adalah qadim atau kekal tanpa permulaan.
  3. Bahwa diakhirat kelak yang dihimpun hanyalah ruh manusia bukan jasadnya.

B.     Qadimnya alam

Filosof-filosof mengatakan bahwa alam ini qadim. Qadimnya tuhan atas alam sama dengan qadimnya sebab atas akibat, yaitu dari segi Dzat dan tingkatan, bukan dari segi zaman[2]. Sedangkan menurut al-Ghazali bahwa pendapat alam tidak bermula tak dapat diterima bagi kaum teologi, karena menurut teologi Tuhan adalah pencipta, dan dimaksud pencipta ialah menciptakan sesuatu dan “tiada” (cretio ex nihilo). Dan pembelaan Ibnu Rusyd mengatakan bahwa Tuhan dan alam adalah dua dzat yang azali. Akan tetapi azalinya Tuhan berbeda dengan azalinya alam dalam perimbangan pikiran, karena Tuhan sebgai wujudnya alam[3]. Kalau alam dikatakan tidak bermula, maka alam bukanlah diciptakan dan dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta. Untuk memperkuat pendirian tersebut yaitu Qadimnya alam, Ibnu Rusyd berusaha memperkuatnya dengan nash-nash Al-Qur’an, seperti dalam bukunya Faslul Maqal sebagai berikut:

“karena menurut lahirnya Syara’, apabila diteliti maka akan nampak dari ayat-ayat yang mengenai kabar tentang terjadinya alam bahwa formnya baru dan wujud serta zaman itu sendiri berlangsung terus menerus dari kedua ujungnya, yakni tidak terputus, sebab firman Tuhan: Tuhan adalah Dzat yang membuat langit dan bumi dalam enam hari, dan ‘arsy-Nya adalah diatas air (Q.S Hud/11: 7), menurut lahirnya menunjukkan adanya wujud sebelum wujud ini, yaitu ‘arsy dan air, dan adanya zaman sebelum zaman ini, yakni zaman yang menyertai gambaran wujud yang berupa bilangan benda-benda angkasa.”[4]

Ibnu rusyd mengatakan tidak berkesudahannya wujud dari kedua ujungnya, maka hal ini berisi penegasan tentang keazalian dan keabadian dalam arti yang jelas. Dari sini timbul persoalan tentang berapa lama perbuatan-perbuatan Tuhan yang telah lalu itu. Untuk ini Ibnu Rusyd mengatakan sebagai berikut:

“terhadap orang yang menanyakan tentang berapa lama perbuatan-perbuatan Tuhan yang telah lalu, maka jawabannya yang paling baik adalah bahwa lamanya perbuatan tersebut sama dengan lama wujudNya sendiri, karena perbuatan dan wujudNya tidak ada permulaannya. Bahkan lebih jelasnya Ibnu Rusyd mengatakan bahwa apabila Dzat pembuat itu tidak mempunyai permulaan dan kesudahan bagi wujudNya, maka wujud perbuatannya tersebut juga secara otomatis tidak mempunyai permulaan dan kesudahan.”

Karena Ibnu Rusyd berusaha membuktikan kebenaran Allah melalui hukum kausalitas, yang tidak bisa diterima kaum fuqaha, maka terjadilah tuduhan kontroversial terhadap pemikirannya. Menurutnya tidak ada sesuatu yang ada tanpa sebab. Semua sebab beraturan hingga Sebab Pertama, yakni penciptaan alam semesta, atau sebab penciptaan yang selalu bergerak dan terus menerus berganti Menanggapi tuduhan tersebut, maka Ibnu Rusyd mencoba meyakinkan bahwa warisan pemikiran Yunani tidak ada yang bertentangan dengan Islam. Bahkan kemungkinan untuk menggabungkan antara keduanya sangat besar. Ibnu Rusyd berkata: “Sesungguhnya hakikat kebenaran itu hanya satu, manusialah yang menggambarkan bentuknya bermacam-macam”.

Mengenai filsafat kekekalan alam, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa pendapat kaum teolog tentang dijadikan alam dari “tiada’ tidak berdasar pada argumen  syari’at yang kuat. Tidak ada ayat-ayat yang menyatakan bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, yaitu tidak ada wujud selain dari wujud-Nya, dan kemudian barulah alam dijadikan. Menurutnya ayat-ayat Alquran mengatakan bahwa alam dijadikan bukanlah dari “tiada”, tetapi dari sesuatu yang telah ada sebelum alam mempunyai wujud. Oleh karena itu Ibnu Rusyd berpegang dengan ayat 48 surah Ibrahim, menurutnya bahwa alam itu betul diciptakan, tetapi diciptakan dalam penciptaan terus menerus. Dengan kata lain bahwa alam itu kekal.

C.    Ilmu Tuhan terhadap hal-hal yang kecil

Tentang persoalan kedua, bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian yang ada dalam alam. Ibnu Rusyd mengatakan bahwa al-Ghazali salah faham, karena tidak pernah kaum filosof mengatakan yang demikian. Menurutnya kaum filosof mengatakan bahwa pengetahuan Tuhan tentang perincian yang terjadi dalam alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu. Pengetahuan manusia mengambil bentuk effek, sedang pengetahuan Tuhan merupakan sebab, yaitu sebab bagi terwujudnya perincian.

Ibnu Rusyd tidak dapat mengakui tidak adanya ilmu Tuhan terhadap peristiwa kecil, dan tidak dapat menerima pula terpengaruhnya ilmu tersebut oleh peristiwa-peristiwa kecil, maka ia berusaha menemukan pemecahannya sendiri, yaitu bahwa ilmu qadim tidak sama dengan ilmu baru.

D.    Kebangkitan Jasmani

Mengenai soal ketiga, kebangkitan jasmani tidak ada dan yang ada hanyalah kebangkitan rohani, Ibnu Rusyd menuduh al-Ghazali mengatakan hal-hal yang bertentangan. Bukunya “Tahafut al-Falasifah” mengatakan bahwa tidak ada orang Islam yang berpendapat bahwa pembangkitan akan terjadi hanya bentuk rohani. Tetapi dalam buku lain al-Ghazali menulis bahwa bagi kaum sufi pembangkitan akan terjadi hanya dalam bentuk rohani, tidak dalam bentuk jasmani. Dengan demikian sebenarnya tidak ada konsensus mengenai pembangkitan hari kiamat, baik dalam bentuk jasmani maupun dalam bentuk rohani. Oleh karena itu kaum filosof yang berpendapat bahwa kebangkitan jasmani tidak ada tak dapat dikafirkan.

Menurut Ibnu rusyd, tidaklah benar apa yang dikatakan oleh al-Ghazali bahwa filosof-filosof mengingkari kebangkitan jasmani. Kebangkitan jasmani sudah tersiar sekurang-kurangya seribu tahun yang lalu (dari masa Ibnu Rusyd) pada masa bani Israil. Bahkan keimanan mereka terhadap kebangkitan tersebut lebih besar dan sangat dijunjung tinggi, karena persoalan ini dapat dipakai untuk meuntun manusia dalam mencapai kebahagiaan pribadi.

Keimanan terhadap kebangkitan jasmani merupakan suatu keharusan bagi terwujudnya keutamaan akhlak, keutamaan teori dan amalan-amalan lahir, karena seseorang tidak akan memperoleh kehidupan yang sebenarnya dalam dunia ini kecuali dengan amalan-amalan lahir. Dan antara keutamaan akhlak dan teori saling berkaitan.

Ibnu Rusyd berpendapat bahwa hanya bagi orang awam persoalan pembangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani, karena pembangkitan jasmani lebih mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan baik.

II.                KESIMPULAN

Sudah disebutkan bahwa al-Ghazali telah menghukumi kafir terhadap para filosof-filosof dalam tiga masalah. Keputusan al-Ghazali tersebut tidak dibenarkan oleh Ibnu Rusyd. Pengkafiran dalam masalah kebangkita jasmani tidak beralasan karena masalah ini bagi para filosof adalah persoalan teori. Pengkafiran dalam masalah tidak mengetahuinya Tuhan terhadap hal-hal yang kecil tidak tepat karena masalah ini tidak menjadi pendapat-pendapat filosof. Pengkafiran dalam masalah qadimnya alam tidak juga tepat, karena pengertian qadimnya alam tidak sama dengan apa yang dipahami oleh ulama-ulama Kalam.


[1]  Dr. Aksin Wijaya,  teori Interpretasi Al-Qur’an Ibn-Rusyd Kritik Ideologis-Hermeneutis, (Yogyakarta: LKiS, 2009), h. 63.

[2]  Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 145.

[3]  Ibid, h. 175.

[4]  Ibid, h. 176.

Tinggalkan komentar